Teruntuk Kau Yang Masih Membandingkan Diri Sendiri Dengan Pencapaian Orang Lain
Teruntuk kau yang suka membandingkan diri dengan orang lain, khususnya dalam hal pencapaian hidup. Cobalah kau merubah pandangan tersebut dengan membaca sebuah 'cerita' yang saya kutip dari akun twitter @daprast berikut ini.
Kita hidup di dunia yang entah kenapa orang-orang di dalamnya sibuk menjadi lebih daripada yang lain, atau jikalau dapat menjadi yang paling.
Tentu dengan pola pikir demikian, kita cenderung membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain. Alhasil, alasannya hampir semua orang melaksanakan hal yang sama maka munculah tolok ukur yang dianggap baku.
Tanpa sadar hal itu menjadi pola pikir, yang secara alam bawah sadar, kita mematuhi tolok ukur tersebut. Misalnya saja, kita harus menikah di atas usia 25 dan sebelum menginjak 30 tahun, alasannya 'standar orang' menyerupai itu.
Sebelum usia 40 tahun, harus sudah punya kendaraan beroda empat dan rumah sendiri. Dan seterusnya. Tanpa kau sadari, tolok ukur dari pencapaian orang lain ini sudah dianggap 'baku' yang menciptakan kita selalu hidup dalam persaingan.
Ada sesuatu yang sangat berharga namun kita lupakan. Sebuah fakta bahwa kita punya latar belakang yang berbeda-beda. Kita lupa, bahwa hidup yang kita jalani selama ini tidaklah sama. Kita bukanlah satu produk yang dihasilkan dari satu perusahaan dengan warna, bentuk, rasa, dan fungsi yang sama.
Sialnya, beberapa ketika sebelum waktu yang ditetapkan, Jogja hujan lebat. Ketika saya hingga di daerah berkumpul, saya lembap kuyup. Sahabat-sahabatku? Kering, rapi, tampan dan cantik. Siapa yang tidak minder dengan insiden menyerupai itu, termasuk diriku. Alasannya, saya merasa bersalah alasannya tiba terlambat dan ternyata hanya saya sendiri yang masih naik sepeda motor kemana-mana.
Salah satu sahabatku mencicipi ketidaknyamanan itu. Dia kemudian bertanya "Kamu kenapa dul?"
"Hahaha, nggak pa-pa. Minder aja, saya sendiri yang lembap kuyup", Jawabku seadanya.
Sahabatku yang lain pribadi memotong, "Maksud kau apa? Minder alasannya kami naik mobil, sementara kau naik motor? Justru saya yang gotong royong minder, hampir nggak berangkat ke sini tadi" ujarnya.
Aku pun binggung, "Maksudmu?"
"Gini, Dul. Aku tahu saya sudah kerja kantoran. Tapi di perusahaan bapakku sendiri. Aku tahu, saya naik kendaraan beroda empat yang BPKB-nya atas namaku tapi uangnya uang bapakku. Aku tahu saya S2, tapi dibayarin bapakku. Aku minder alasannya meskipun kau naik motor, tapi kau beli sendiri. Meskipun kau nggak kerja kantoran, saya tahu kau terlambat alasannya gres selesai ngajar les. Bahkan saya tahu kau SMU dan kuliah bayar sendiri."
Lalu yang satu lagi dengan nada yang lebih lembut menjelaskan, "Intinya, Dul. Nggak ada gunanya merasa minder, apalagi membanding-bandingkan pencapaian kita masing-masing. Hla wong jalan kita masing-masing sudah beda, ngapain dibandingin? Percuma juga kan kita erat jikalau kita malah saling bersaing dan mau senang sendiri. Mending, siapa yang butuh dibantu, siapa yang dapat bantu, dan saling bantu, ya nggak?" Tutupnya.
Pencapaian atau bukan, itu murni subjektif. Buatku, dapat berdiri sebelum jam 8 pagi ialah sebuah pencapaian. Untuk kalian, mungkin bukan. Ya tidak apa-apa, itu ialah cara kita untuk 'bahagia'.
Teruntuk kau yang masih mengakibatkan pencapaian orang lain sebagai tolok ukur pencapaian pribadi. Tinggalkan tolok ukur tersebut. Kamu berhak menentukan pencapaian-pencapaianmu sendiri dan merayakannya, sekecil apapun itu.
Dengan begitu, hidupmu akan terasa jauh lebih ringan dan indah. Hal itulah yang sudah saya pelajari dan sudah saya lakukan selama 2 tahun terakhir. Selamat mencoba ...
Kita hidup di dunia yang entah kenapa orang-orang di dalamnya sibuk menjadi lebih daripada yang lain, atau jikalau dapat menjadi yang paling.
Tentu dengan pola pikir demikian, kita cenderung membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain. Alhasil, alasannya hampir semua orang melaksanakan hal yang sama maka munculah tolok ukur yang dianggap baku.
Tanpa sadar hal itu menjadi pola pikir, yang secara alam bawah sadar, kita mematuhi tolok ukur tersebut. Misalnya saja, kita harus menikah di atas usia 25 dan sebelum menginjak 30 tahun, alasannya 'standar orang' menyerupai itu.
Sebelum usia 40 tahun, harus sudah punya kendaraan beroda empat dan rumah sendiri. Dan seterusnya. Tanpa kau sadari, tolok ukur dari pencapaian orang lain ini sudah dianggap 'baku' yang menciptakan kita selalu hidup dalam persaingan.
Ada sesuatu yang sangat berharga namun kita lupakan. Sebuah fakta bahwa kita punya latar belakang yang berbeda-beda. Kita lupa, bahwa hidup yang kita jalani selama ini tidaklah sama. Kita bukanlah satu produk yang dihasilkan dari satu perusahaan dengan warna, bentuk, rasa, dan fungsi yang sama.
Sebuah kisah ...
Sekian tahun yang lalu, beberapa tahun selepas kuliah. Ada beberapa sobat SMU mengajak bertemu. Sebagian sudah tidak tinggal di kota yang sama (Jogja), jadi ya mau tak mau harus disempatkan.Sialnya, beberapa ketika sebelum waktu yang ditetapkan, Jogja hujan lebat. Ketika saya hingga di daerah berkumpul, saya lembap kuyup. Sahabat-sahabatku? Kering, rapi, tampan dan cantik. Siapa yang tidak minder dengan insiden menyerupai itu, termasuk diriku. Alasannya, saya merasa bersalah alasannya tiba terlambat dan ternyata hanya saya sendiri yang masih naik sepeda motor kemana-mana.
Salah satu sahabatku mencicipi ketidaknyamanan itu. Dia kemudian bertanya "Kamu kenapa dul?"
"Hahaha, nggak pa-pa. Minder aja, saya sendiri yang lembap kuyup", Jawabku seadanya.
Sahabatku yang lain pribadi memotong, "Maksud kau apa? Minder alasannya kami naik mobil, sementara kau naik motor? Justru saya yang gotong royong minder, hampir nggak berangkat ke sini tadi" ujarnya.
Aku pun binggung, "Maksudmu?"
"Gini, Dul. Aku tahu saya sudah kerja kantoran. Tapi di perusahaan bapakku sendiri. Aku tahu, saya naik kendaraan beroda empat yang BPKB-nya atas namaku tapi uangnya uang bapakku. Aku tahu saya S2, tapi dibayarin bapakku. Aku minder alasannya meskipun kau naik motor, tapi kau beli sendiri. Meskipun kau nggak kerja kantoran, saya tahu kau terlambat alasannya gres selesai ngajar les. Bahkan saya tahu kau SMU dan kuliah bayar sendiri."
Lalu yang satu lagi dengan nada yang lebih lembut menjelaskan, "Intinya, Dul. Nggak ada gunanya merasa minder, apalagi membanding-bandingkan pencapaian kita masing-masing. Hla wong jalan kita masing-masing sudah beda, ngapain dibandingin? Percuma juga kan kita erat jikalau kita malah saling bersaing dan mau senang sendiri. Mending, siapa yang butuh dibantu, siapa yang dapat bantu, dan saling bantu, ya nggak?" Tutupnya.
Pencapaian atau bukan, itu murni subjektif. Buatku, dapat berdiri sebelum jam 8 pagi ialah sebuah pencapaian. Untuk kalian, mungkin bukan. Ya tidak apa-apa, itu ialah cara kita untuk 'bahagia'.
Teruntuk kau yang masih mengakibatkan pencapaian orang lain sebagai tolok ukur pencapaian pribadi. Tinggalkan tolok ukur tersebut. Kamu berhak menentukan pencapaian-pencapaianmu sendiri dan merayakannya, sekecil apapun itu.
Dengan begitu, hidupmu akan terasa jauh lebih ringan dan indah. Hal itulah yang sudah saya pelajari dan sudah saya lakukan selama 2 tahun terakhir. Selamat mencoba ...