Makalah ‘Kawin Paksa’ Wahdatul Wujud Dan Teologi Asy’
Ahmad Sirhindi (1564-1624,) lahir di kota Sirhind di India utara. Ia disebutkan sebagai anak keturunan para ulama dan aristokrat yang dikenal dengan gelar khajeh hingga bersambung dengan khalifah Umar. Ia memproklamirkan dirinya sebagai wali milenium lantaran bukunya 'al-Maktubat' (semacam diary) ditulis bertepatan dengan pergantian dari kurun ke-16 menuju kurun ke-17 dan mengumumkan keinginannya untuk membersihkan Islam India dari efek adat kebiasaan India yang pagan. Usaha Maharaja Akbar untuk membuat din- i ilahi, sebuah agama elektis yang terdiri dari semua unsur positif dari agama-agama yang ada di wilayah kemaharajaannya yang luas, mengakibatkan kemurkaan kaum Muslim ortodoks, sebagaimana tercermin dalam karya sejarah Bada’oni, Muntakhab al-tawarikh. Konsep keagamaan yang diberi nama din ilahi ini ialah konsesi dan langkah akomodatif Sultan demi meredakan konflik umat Islam dan umat Hindu yang berkepanjangan. Namun, dalam kenyataan selanjutnya, upaya ini malah mendeskeditkan umat Islam, ketika Sultan Akbar memproklamasikan gagasannya sebagai agama resmi di Mughal.
Realitas ironis ini mengakibatkan reaksi negatif di kalangan fuqaha dan pemuka agama Islam di India. Sirhindi ialah salah satu tokoh Islam yang mencicipi kepahitan itu. Ia bahkan sempat mengungkapkan keekcewaannya. Sirhindi menganggap biang keladi dari sinkretisme dan eklektisisme Sultan Akbar dan meluasnya perilaku yang mengabaikan syariah dan aqidah ialah adalah konsep Wahdah al-wujud Ibn Arabi dan Syi’isme. Karena itulah Ahmad Sirhindi bertekad melaksanakan purifikasi. Sufisme ontologis dianggapnya sebagai biang keladi kultus dan sinkretisme. Selain membenci Paganisme, Hinduisme, Nasrani dan Yahudi, Sirhindi juga membenci Islam Syiah yang dianut oleh hampir setengah jumlah muslimin di anak benua India.
Pada tahun-tahun awal, sebelum menjadi seorang sufi, Sirhindi menulis suatu karya yang berisi serangan tajam terhadap Syiah. Ia menuduh kaum Syiah sebagai orang kafir yang harus dibunuh. Bahkan lantaran sikapnya yang sangat tidak toleran terhadap selain mazhab sunni apalagi terhadap agama selain Islam, ia mendekam di penjara selama satu tahun atas perintah Jahangir, putra Sultan Akbar yang telah wafat, yang semula bersikap baik terhadapnya. Konon perubahan perilaku Jihangir itu terjadi setelah ia menikah dengan perempuan anggun dari keluarga Syiah. Konon, di kemudian hari setelah berpaling kepada sufisme, beliau sikapnya terhadap Syiah kian melunak, dan kemudian mengakui tugas Imam Ali dan imam-imam lainnya di antara wali-wali Allah.
Pada masa awal hidupnya, beliau juga menjadi ajun Abu al-fadhl, meskipun beliau sangat menentang tradisi filsafat Yunani dan agama selain Islam. Pada tahun 1599 atau 1600, beliau bergabung dalam tarekat Naqsyabandiyah yang dianggapnya lebih unggul dibanding tarekat lainnya. Sebab, Naqsyabandiyah menolak raqsh (tarian) dan sima’ (mendengarkan musik).
Sirhindi ialah tokoh sufi india yang paling asli dan kontroversial. Dia punya beberapa pernyataan dan klaim yang sangat kontroversial dan tidak lazim. Dia menjadi materi perbincangan di antara kaum modern muslim, sebagimana dikupas secara rinci oleh Johanan Fredmann.
Ketika Ahmad Sirhindi memutuskan untuk mengikuti jalan kesufian beliau telah pergi kepada mursyid tarekat Naqsabandiah yang berjulukan Syekh Muhammad al-Baqi. Ahmad Sirhindi mengaku telah melalui semua peringkat spiritual. Syekh Muhammad mentalkinkan zikir Ilmul Zat, ialah kalimah Allah kepada Ahmad Sirhindi. Mursyid Naqsabandiah itu menjuruskan perhatian spiritual beliau kepada Sirhindi sehinggalah Ahmad Sirhindi mengalami kegairahan dan kelazatan yang amat sangat. Klaim-klaim akan supremasi spiritual mististiknya dituankannya pada pecahan depan maupun di sela-sela komentar kritisnya atas Wahdah al-wujud dalam Al-maktubat-nya.
Dalam salah satu suratnya, Sirhindi mengungkapkan kronologi pengembaraan spritualnya. Dia mengalami rasa kepiluan yang amat dahsyat sehingga beliau menangis dengan bersungguh-sungguh. Setelah satu hari mengamalkan zikir Ismul Zat, ia mengaku telah dikuasai oleh rasa penafian dan kelenyapan diri. Dalam suasana spiritual yang demikian beliau menyaksikan samudera yang sangat luas. Dia menyaksikan segala sesuatu sebagai bayang-bayang dalam maritim tersebut. Pengalaman demikian menjadi bertambah kuat, mendalam dan cemerlang sehingga memukau jiwanya. Ia mengaku telah mengalami suasana tersebut beberapa lama, kadang kala berlarut hingga seperempat hari, kadang kala separuh hari dan kadang kala hingga satu hari penuh. Ahmad Sirhindi melapokan pengalamannya itu kepada Syekh Muhammad. Gurunya menjelaskan bahwa apa yang telah dialami oleh Ahmad Sirhindi itu merupakan sejenis pengalaman fana dan beliau dinasihati supaya menjaga penyingkapan itu.
Sirhindi mengaku meneruskan latihannya. Dua hari kemudian beliau mengalami fana yang lebih teratur. Dia meneruskan latihan sebagaimana yang diajarkan oleh mursyidnya. Seterusnya beliau mencapai fana dalam fana. Ahmad Sirhindi melaporkan pengalamannya kepada Syekh Muhammad. Mursyidnya itu bertanya apakah Ahmad Sirhindi menyaksikan seluruh alam ini sebagai satu kewujudan ataukah beliau mendapati wujud tersebut bersatu dengan Yang Satu. Ahmad Sirhindi mengaku bahwa demikianlah yang beliau telah alami. Mursyidnya menjelaskan bahwa fana dalam fana yang sebetulnya ialah walaupun disaksikan penyatuan tetapi seseorang itu masuk ke dalam suasana ketidak-sadaran sehingga fana itu sendiri tidak ada dalam kesadarannya. Ahmad Sirhindi meneruskan latihannya dan pada malam itu beliau mengalami suasana fana mirip yang digambarkan oleh mursyidnya. Dia melaporkan pengalaman kepada Syekh Muhammad, termasuk pengalamannya sebelum memasuki fana. Sirhindi mengaku bahwa dirinmya menerima ilmu secara pribadi dari Tuhan. Dia juga mendapati sifat-sifat yang menjadi miliknya ialah juga milik Tuhan. Setelah peringkat tersebut beliau maju lagi. Dia menyaksikan satu cahaya yang membungkus segala sesuatu. Cahaya tersebut berwarna hitam. Dia menyangka apa yang beliau saksikan itu ialah Tuhan. Mursyidnya menjelaskan apa yang telah beliau alami itu ialah menghadap kepada Tuhan di sebalik hijab cahaya. Ia kelihatan lantaran perkaitan Zat Yang Maha Suci dengan alam kebendaan, tetapi ia mesti dinafikan.
Setelah penafian itu Sirhindi mendapati cahaya hitam yang membungkus segala sesuatu itu mula mengecil sehingga menjadi satu titik yang sangat halus. Mursyidnya menyuruhnya menafikan juga titik hitam yang halus itu supaya beliau bisa hingga kepada suasana kehernan. Ahmad Sirhindi mematuhi kode mursyidnya itu dan titik hitam yang halus itu pun lenyap. Dia dikuasai oleh suasana kebingungan. Dalam suasana kebingungan itulah Ahmad Sirhindi mendapati Tuhan hanya kelihatan kepada Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri. Mursyidnya mengsahkan bahwa apa yang dialami oleh Sirhindi itu ialah suasana kehadiran yang dicari dalam tarekat Naqsabandiah. Ia dinamakan nisbat bagi tarekat Naqsabandiah. Ia juga dipanggil kehadiran Tuhan secara tiada rupa, bentuk, sifat dan lain-lain. Tahap inilah menjadi tujuan pencarian. Maksud nisbat ialah kekerabatan dengan Tuhan yang tidak putus walau sedetik pun. Nisbat yang jarang terjadi ini, berdasarkan pengakuannya, dikurniakan atas dirinya dalam masa dua bulan beberapa hari setelah beliau ditalkinkan oleh Syekh Muhammad.
Setelah melewati tahap nisbat, beliau mengaku ada satu lagi bidang fana dikurniakan kepadanya. Menurutnya, fana pada tahap ini ialah fana hakiki. Dalam kefanaan yang demikian beliau menyaksikan hati beliau menjadi besar, menjadi tersangat besar hingga seluruh alam termasuk al-Kursi dan al-Arasy hanyalah seumpama sebiji sawi jikalau dibandingkan dengan hatinya. Ia mengaku, setelah melewati peringkat ini, beliau menyaksikan dirinya dan segala sesuatu sebagai Tuhan. Kemudian beliau melihat segala sesuatu dari alam ini menjadi satu dengan dirinya dan dirinya menjadi satu dengan segala sesuatu. Dia menyaksikan seluruh alam tersembunyi dalam sebiji zarah yang halus.
Realitas ironis ini mengakibatkan reaksi negatif di kalangan fuqaha dan pemuka agama Islam di India. Sirhindi ialah salah satu tokoh Islam yang mencicipi kepahitan itu. Ia bahkan sempat mengungkapkan keekcewaannya. Sirhindi menganggap biang keladi dari sinkretisme dan eklektisisme Sultan Akbar dan meluasnya perilaku yang mengabaikan syariah dan aqidah ialah adalah konsep Wahdah al-wujud Ibn Arabi dan Syi’isme. Karena itulah Ahmad Sirhindi bertekad melaksanakan purifikasi. Sufisme ontologis dianggapnya sebagai biang keladi kultus dan sinkretisme. Selain membenci Paganisme, Hinduisme, Nasrani dan Yahudi, Sirhindi juga membenci Islam Syiah yang dianut oleh hampir setengah jumlah muslimin di anak benua India.
Pada tahun-tahun awal, sebelum menjadi seorang sufi, Sirhindi menulis suatu karya yang berisi serangan tajam terhadap Syiah. Ia menuduh kaum Syiah sebagai orang kafir yang harus dibunuh. Bahkan lantaran sikapnya yang sangat tidak toleran terhadap selain mazhab sunni apalagi terhadap agama selain Islam, ia mendekam di penjara selama satu tahun atas perintah Jahangir, putra Sultan Akbar yang telah wafat, yang semula bersikap baik terhadapnya. Konon perubahan perilaku Jihangir itu terjadi setelah ia menikah dengan perempuan anggun dari keluarga Syiah. Konon, di kemudian hari setelah berpaling kepada sufisme, beliau sikapnya terhadap Syiah kian melunak, dan kemudian mengakui tugas Imam Ali dan imam-imam lainnya di antara wali-wali Allah.
Pada masa awal hidupnya, beliau juga menjadi ajun Abu al-fadhl, meskipun beliau sangat menentang tradisi filsafat Yunani dan agama selain Islam. Pada tahun 1599 atau 1600, beliau bergabung dalam tarekat Naqsyabandiyah yang dianggapnya lebih unggul dibanding tarekat lainnya. Sebab, Naqsyabandiyah menolak raqsh (tarian) dan sima’ (mendengarkan musik).
Sirhindi ialah tokoh sufi india yang paling asli dan kontroversial. Dia punya beberapa pernyataan dan klaim yang sangat kontroversial dan tidak lazim. Dia menjadi materi perbincangan di antara kaum modern muslim, sebagimana dikupas secara rinci oleh Johanan Fredmann.
Ketika Ahmad Sirhindi memutuskan untuk mengikuti jalan kesufian beliau telah pergi kepada mursyid tarekat Naqsabandiah yang berjulukan Syekh Muhammad al-Baqi. Ahmad Sirhindi mengaku telah melalui semua peringkat spiritual. Syekh Muhammad mentalkinkan zikir Ilmul Zat, ialah kalimah Allah kepada Ahmad Sirhindi. Mursyid Naqsabandiah itu menjuruskan perhatian spiritual beliau kepada Sirhindi sehinggalah Ahmad Sirhindi mengalami kegairahan dan kelazatan yang amat sangat. Klaim-klaim akan supremasi spiritual mististiknya dituankannya pada pecahan depan maupun di sela-sela komentar kritisnya atas Wahdah al-wujud dalam Al-maktubat-nya.
Dalam salah satu suratnya, Sirhindi mengungkapkan kronologi pengembaraan spritualnya. Dia mengalami rasa kepiluan yang amat dahsyat sehingga beliau menangis dengan bersungguh-sungguh. Setelah satu hari mengamalkan zikir Ismul Zat, ia mengaku telah dikuasai oleh rasa penafian dan kelenyapan diri. Dalam suasana spiritual yang demikian beliau menyaksikan samudera yang sangat luas. Dia menyaksikan segala sesuatu sebagai bayang-bayang dalam maritim tersebut. Pengalaman demikian menjadi bertambah kuat, mendalam dan cemerlang sehingga memukau jiwanya. Ia mengaku telah mengalami suasana tersebut beberapa lama, kadang kala berlarut hingga seperempat hari, kadang kala separuh hari dan kadang kala hingga satu hari penuh. Ahmad Sirhindi melapokan pengalamannya itu kepada Syekh Muhammad. Gurunya menjelaskan bahwa apa yang telah dialami oleh Ahmad Sirhindi itu merupakan sejenis pengalaman fana dan beliau dinasihati supaya menjaga penyingkapan itu.
Sirhindi mengaku meneruskan latihannya. Dua hari kemudian beliau mengalami fana yang lebih teratur. Dia meneruskan latihan sebagaimana yang diajarkan oleh mursyidnya. Seterusnya beliau mencapai fana dalam fana. Ahmad Sirhindi melaporkan pengalamannya kepada Syekh Muhammad. Mursyidnya itu bertanya apakah Ahmad Sirhindi menyaksikan seluruh alam ini sebagai satu kewujudan ataukah beliau mendapati wujud tersebut bersatu dengan Yang Satu. Ahmad Sirhindi mengaku bahwa demikianlah yang beliau telah alami. Mursyidnya menjelaskan bahwa fana dalam fana yang sebetulnya ialah walaupun disaksikan penyatuan tetapi seseorang itu masuk ke dalam suasana ketidak-sadaran sehingga fana itu sendiri tidak ada dalam kesadarannya. Ahmad Sirhindi meneruskan latihannya dan pada malam itu beliau mengalami suasana fana mirip yang digambarkan oleh mursyidnya. Dia melaporkan pengalaman kepada Syekh Muhammad, termasuk pengalamannya sebelum memasuki fana. Sirhindi mengaku bahwa dirinmya menerima ilmu secara pribadi dari Tuhan. Dia juga mendapati sifat-sifat yang menjadi miliknya ialah juga milik Tuhan. Setelah peringkat tersebut beliau maju lagi. Dia menyaksikan satu cahaya yang membungkus segala sesuatu. Cahaya tersebut berwarna hitam. Dia menyangka apa yang beliau saksikan itu ialah Tuhan. Mursyidnya menjelaskan apa yang telah beliau alami itu ialah menghadap kepada Tuhan di sebalik hijab cahaya. Ia kelihatan lantaran perkaitan Zat Yang Maha Suci dengan alam kebendaan, tetapi ia mesti dinafikan.
Setelah penafian itu Sirhindi mendapati cahaya hitam yang membungkus segala sesuatu itu mula mengecil sehingga menjadi satu titik yang sangat halus. Mursyidnya menyuruhnya menafikan juga titik hitam yang halus itu supaya beliau bisa hingga kepada suasana kehernan. Ahmad Sirhindi mematuhi kode mursyidnya itu dan titik hitam yang halus itu pun lenyap. Dia dikuasai oleh suasana kebingungan. Dalam suasana kebingungan itulah Ahmad Sirhindi mendapati Tuhan hanya kelihatan kepada Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri. Mursyidnya mengsahkan bahwa apa yang dialami oleh Sirhindi itu ialah suasana kehadiran yang dicari dalam tarekat Naqsabandiah. Ia dinamakan nisbat bagi tarekat Naqsabandiah. Ia juga dipanggil kehadiran Tuhan secara tiada rupa, bentuk, sifat dan lain-lain. Tahap inilah menjadi tujuan pencarian. Maksud nisbat ialah kekerabatan dengan Tuhan yang tidak putus walau sedetik pun. Nisbat yang jarang terjadi ini, berdasarkan pengakuannya, dikurniakan atas dirinya dalam masa dua bulan beberapa hari setelah beliau ditalkinkan oleh Syekh Muhammad.
Setelah melewati tahap nisbat, beliau mengaku ada satu lagi bidang fana dikurniakan kepadanya. Menurutnya, fana pada tahap ini ialah fana hakiki. Dalam kefanaan yang demikian beliau menyaksikan hati beliau menjadi besar, menjadi tersangat besar hingga seluruh alam termasuk al-Kursi dan al-Arasy hanyalah seumpama sebiji sawi jikalau dibandingkan dengan hatinya. Ia mengaku, setelah melewati peringkat ini, beliau menyaksikan dirinya dan segala sesuatu sebagai Tuhan. Kemudian beliau melihat segala sesuatu dari alam ini menjadi satu dengan dirinya dan dirinya menjadi satu dengan segala sesuatu. Dia menyaksikan seluruh alam tersembunyi dalam sebiji zarah yang halus.
Kemudian pengalamannya berubah lagi. Dia mengaku telah menyaksikan zarah dirinya membesar hingga beberapa alam bisa dimasukkan ke dalamnya. Dia menyaksikan dirinya atau satu zarah sebagai cahaya yang membesar, memasuki setiap zarah kewujudan sehingga semua rupa dan bentuk alam hilang lenyap di dalamnya. Setelah itu beliau mendapati dirinya atau satu zarah, menanggung alam atau menjadi pasak alam. Mursyidnya menyatakan suasana demikian ialah peringkat haqqul yaqin dalam tauhid, peringkat bersatu dalam kesatuan.
Setelah peringkat di atas, berlaku pula pengalaman yang berbeda dari pengalaman penyatuan. Dahulunya Ahmad Sirhindi menyaksikan segala sesuatu sebagai Tuhan tanpa ada sebarang perbedaan. Bila memasuki peringkat yang gres ini beliau menemukan bahwa segala sesuatu dalam alam tidaklah bersatu dengan Tuhan, tetapi hanyalah bentuk khayalan. Penyatuan hanya berlaku dalam penyaksian mata hati semata-mata. Dia masuk kepada suasana keheranan yang menyeluruh. Saat itu beliau teringat pada kata-kata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus: “Jika kau suka kau bisa memanggilnya ‘yang diciptakan’ atau jikalau kau suka kau bisa memanggilnya Tuhan dalam satu aspek dan makhluk dalam aspek yang lain. Kamu boleh juga menyampaikan yang kau tidak bisa membedakan keduanya”. Keterangan dari kitab Fusus itu mententeramkan jiwa Ahmad Sirhindi. Bila berkesempatan, beliau melaporkan pengalaman beliau kepada Syekh Muhammad. Mursyid itu memberitahu bahwa Sirhindi mengalami suasana kehadiran Tuhan tetapi secara tidak jelas.
Dia dinasihatkan supaya meneruskan latihan supaya wujud boleh dibedakan dari khayali. Ahmad Sirhindi bertanya kepada mursyidnya mengenai keterangan Ibnu Arabi perihal pengalaman yang telah dialaminya. Syekh Muhammad menjelaskan bahwa Ibnu Arabi tidak menceritakan suasana yang tepat yang berbeda dengan konsep wahdah al-wujud, lantaran kebanyakan sufi tidak melewati peringkat menyaksikan tidak ada perbedaan di antara Tuhan dengan alam. Jika mereka melepasi peringkat tersebut mereka akan menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk.
Ahmad Sirhindi meneruskan latihannya. Dalam masa dua hari beliau dikurniakan pengalaman yang memperlihatkan perbedaan di antara Wujud yang sebenar dengan wujud khayali. Dia mendapati sifat, tindakan dan kesan yang muncul pada wujud bayangan (khayali) sebetulnya tiba dari Tuhan. Dia menyadari sepenuhnya bahwa sifat dan perbuatan tersebut sebetulnya bayangan atau imajinasi sepenuhnya dan tiada yang maujud melainkan Tuhan. Mursyidnya menandakan bahwa beliau sudah hingga kepada peringkat mengalami suasana perbedaan setelah penyatuan, ialah setelah menyaksikan Wujud Tuhan dan wujud hamba bersatu sebagai wahdah al-wujud, beliau meninggalkan peringkat tersebut dan menyaksikan Wujud Tuhan sebetulnya berbeda dari wujud hamba. Peringkat ini merupakan tahap terakhir pencapaian manusia. Setelah peringkat ini seseorang itu akan memahami dan menyadari tujuan beliau diberi bakat-bakat yang perlu. Inilah peringkat kesempurnaan.
Ahmad Sirhindi meringkas kronologi perjalanan spiritualnya. Katanya, ketika dibawa kepada peringkat kesadaran setelah mabuk, baqa setelah fana dan melihat kepada setiap zarah kewujudan dirinya, beliau tidak melihat sesuatu melainkan Allah SWT dan beliau temui ‘cermin’ untuk ‘menanggung’ Tuhan. Kemudian beliau dibawa meninggalkan peringkat tersebut. Dia masuk ke dalam suasana kebingungan. Bila beliau kembali kepada dirinya beliau dapati Tuhan dan segala yang maujud berada dalam dirinya. Kemudian beliau dibawa lagi ke dalam suasana kebingungan. Setelah itu kesadaran beliau dikembalikan semula dan beliau mendapati Tuhan bukan satu dengan alam, tetapi tidak juga berpisah. Pada peringkat permulaannya beliau menyaksikan Tuhan sebagai meliputi dan menyertai sesuatu, kemudian syuhud yang demikian hilang sama sekali. Walaupun begitu Tuhan terlihat olehnya dengan keadaan tersebut yang membuatnya mencicipi seolah-olah Dia. Seterusnya beliau melihat alam tidak ada di samping Tuhan, padahal dahulunya beliau melihat alam berada di samping Tuhan. Dia kembali lagi mengalami suasana kebingungan. Kemudian kesadaran beliau kembali lagi. Dia sekarang memperoleh pengetahuan yang sangat berbeda dengan pengetahuan beliau sebelumnya.
Dalam pengetahuan beliau yang terbaru ini beliau mendapati kekerabatan Tuhan dengan alam ialah berlainan dengan apa yang beliau pahami dahulu. Hubungan Tuhan dengan alam tidak bisa diuraikan dan tidak sanggup diketahui. Dia masuk pula ke dalam suasana kebingungan. Dia mencicipi kekerdilan diri. Ketika sadar kembali, beliau mendapatkan pengetahuan bahwa Tuhan tidak ada hubungannya dengan alam secara diketahui atau tidak diketahui. Dia mengaku telah diberi pengetahuan khusus perihal tidak wujud kekerabatan antara Tuhan dengan makhluk walaupun beliau menyaksikan kedua-duanya. Pada tahap ini beliau mengaku telah mendapatkan pengetahuan bahwa apa juga yang disaksikan, walaupun berunsur ghaib, ialah bukan Tuhan. Menurutnya, ia hanyalah bentuk simbolik perihal kekerabatan Tuhan dan ciptaan-Nya yang melampaui apa juga pengetahuan dan syuhud. Dia mengaku bahwa di tamat perjalanannya ia menemukan bahwa masih ada peringkat yang lebih tinggi dari peringkat menyaksikan wahdah al-wujud. Syuhud terhadap wahdah al-wujud merupakan satu pengalaman yang ditemui dalam perjalanan spiritual. Katanya, setelah meninggalkan peringkat tersebut, seseorang akan menjadi sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis secara bertahap. Di penghujung perjalanannya kesan syuhud wahdah al-wujud akan hilang sama sekali dan beliau menjadi sesuai sepenuhnya dengan al-Quran dan as-Sunah.
Beberapa orang sufi mungkin mengalami hal yang sama tetapi konsep yang timbul dari pengalaman tersebut mungkin berbeda. Ibnu Arabi mengalami suasana satu wujud berpegang kepada konsep wahdahul wujud. Ahmad Sirhindi Sirhindi juga mengalami suasana yang demikian tetapi beliau berpegang kepada konsep wahdahul syuhud. Ahmad Sirhindi mengaku telah meninggalkan peringkat menyaksikan wahdah al-wujud dan beliau kembali kepada jalan kenabian. Banyak juga sufi yang tidak terlepas dari kesan menyaksikan wahdah al-wujud, kemudian mereka bermukim pada makam yang berfahamkan wahdah al-wujud. Sufi tersebut ditarik kepada konsep demikian lantaran kefanaan dan mabuk. Orang yang dalam kesadaran tidak patut mengikuti konsep yang demikian. Perlulah diketahui bahwa apa yang dialami dalam alam spiritual tidak semestinya kebenaran yang sejati. Alam demikian lebih merupakan Alam Misal yang menceritakan sesuatu perihal Kebenaran Hakiki yang melampaui misal. Misal dalam alam spiritual boleh dialami secara syuhud atau zauk (rasa). Ketika melalui daerah-daerah Latifah Rabbaniah seseorang boleh menyaksikan cahaya-cahaya dan mengalami zauk Hakikat-hakikat Kenabian.
Cahaya yang disaksikan dalam tempat latifah boleh mempesonakan seseorang dan hakikat kenabian boleh membalikkan pandangan seseorang. Ada orang yang keliru dengan cahaya, menyangkakan Tuhan sebagai cahaya cuaca subuh. Ada orang yang keliru dengan hakikat kenabian, menyangkakan dirinya menyatu dengan nabi-nabi atau terus mendakwakan dirinya sebagai nabi Ada sebahagian dari mereka yang mencuba untuk mencungkil ‘Rahasia’. Mereka menyatukan diri mereka dengan Nabi Adam a.s dan Nabi Muhammad s.a.w. Bagi mereka tidak ada bedanya diri mereka dengan Adam dan Muhammad. Konsep mereka sudah jauh menyimpang dari kebenaran. Perjalanan jasad dengan perjalanan roh lebih kurang saja. Manusia dari aspek jasad tiba dari jasad yang satu ialah jasad Adam. Walaupun bersumberkan jasad yang satu tetapi sekalian jasad-jasad merdeka dari jasad yang satu itu dan juga setiap jasad tidak terikat dengan jasad yang lain. Setelah jasad Adam mengalami mati, jasad-jasad lain tidak ikut mati bersamanya. Jika jasad Saleh dipotong, jasad Yusuf tidak ikut terpotong. Setiap jasad bebas dengan perjalanannya, menanggung senang atau celakanya sendiri.
Begitu juga dengan perjalanan rohani atau roh. Jika roh Nabi Muhammad s.a.w bahagia, roh Abu Jahal tidak ikut bahagia. Jika roh dan jasad Nabi Ibrahim a.s dimasukkan ke dalam syurga, roh dan jasad Namrud tidak ikut memasuki syurga. Sekalipun sekalian roh-roh bersumberkan roh yang satu tetapi roh individu bebas dengan perjalanannya sebagaimana jasad bebas berbuat demikian. Konsep menyatukan jasad atau roh seseorang dengan jasad atau roh orang lain ialah konsep yang keliru. Orang yang mengalami jazbah mungkin terbalik pandangannya dan mengalami suasana penyatuan, tetapi penyatuan tersebut hanya berlaku dalam alam perasaannya, bukan itulah yang sebetulnya berlaku. Tanpa bimbingan guru yang bakir orang tersebut akan berterusan berada di dalam citra khayalannya atau di dalam alam bayangan.
Al-maktubat, Magnum Opus Sirhindi
Orisinalitas gagasannya dalam tasawwuf bisa dilihat dalam doktrin-doktrinnya (terungkap melalui surat-surat) mengenai peringatan seribu tahun Islam. Seribu tahun bulan dalam hijriyah telah berlalu semenjak kenabian Muhammad SAW dan, kata Sirhindi, berarti akan terjadi suatu perubahan dramatis. Dia mengajarklan bahwa di atas ‘Realitas Muhammad’ (dalam bahasa Perisa, haqiqat e Muhammad-i), yang oleh para sufi sebelumnya dianggap sebagai realitas tertinggi di bawah Tuhan, ada ‘Realitas Quranik’. Di atas itu, ada ‘Realitas Ka’bah’. Seribu tahun setelah tamat hidup Muhammad SAW, Realitas Muhammad bangun menggantikan Realitas Ka’bah dan memperoleh nama gres sebagai ‘Realitas Ahmad’ (haqiqat-i Ahmadi). Kita harus memahami bahwa Ahmad merupakan nama lain baik bagi Muhammad maupun bagi Sirhindi sendiri. Sirhindi menyatakan bahwa beliau ialah seorang murid pribadi Tuhan. Menurutnya, dalam tahap terakhir perjalanan sufinya, sang mistikus itu turun dari pengalamannya dengan Tuhan menuju dunia untuk menjalankan fungsi yang mirip dengan fungsi para nabi. Meskipun seorang wali semacam itu tidak bisa mirip nabi secara umum, beliau bisa melampauinya dalam beberapa aspek (seperti halnya seorang mujahid bisa melampaui nabi).
Doktrin ini menempatkan Sirhindi sekubu dengan Ibn ‘Arabi, meskipun banyak pula yang membedakan keduanya. Sering kali dibayangkan pula bahwa Sirhindi berusaha untuk menggantikan sistem gaib Ibn Arabi dengan sistemnya sendiri. Jadinya, banyak diduga bahwa aliran wahdah al-wujud Ibn Arabi akan digantikan oleh aliran Wahdah al-syuhud Sirhindi.
Masalah ini semakin kompleks. Sirhindi mendapatkan beberapa iktikad Ibn Arabi namun menolak beberapa doktrinnya yang lain. Tampaknya sirhindi, mirip penulis modern, beranggapan salah bahwa Ibn Arabi dan para pengikutnya, ketika mereka menyatakan keyakinannya terhadap wahdah al-wujud, mengakui hanya ada satu entitas dalam dunia (pandangan monisme murni). Sebagaimana dikatakan Sirhindi, mereka hanya bisa melihat matahari sehingga mengingkari keberadaan bintang-bintang. Sirhindi menganggap mereka telah dibutakan oleh rasa mabuk sehingga bisa dimaafkan. Padahal, ada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu wahdah al-syuhud, yang berarti hanya melihat ketauhidan Tuhan tanpa bisa m,elihat yang lain, tapi mengetahui bahwa entitas-entitas lain itu ada (seperti halnya bisa melihat matahari, namun tetap mengetahui bahwa bintang-bintang itu ada). Tahapan tertinggi ialah jikalau kita bisa melihat baik matahari maupun bintang.
Setelah peringkat di atas, berlaku pula pengalaman yang berbeda dari pengalaman penyatuan. Dahulunya Ahmad Sirhindi menyaksikan segala sesuatu sebagai Tuhan tanpa ada sebarang perbedaan. Bila memasuki peringkat yang gres ini beliau menemukan bahwa segala sesuatu dalam alam tidaklah bersatu dengan Tuhan, tetapi hanyalah bentuk khayalan. Penyatuan hanya berlaku dalam penyaksian mata hati semata-mata. Dia masuk kepada suasana keheranan yang menyeluruh. Saat itu beliau teringat pada kata-kata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus: “Jika kau suka kau bisa memanggilnya ‘yang diciptakan’ atau jikalau kau suka kau bisa memanggilnya Tuhan dalam satu aspek dan makhluk dalam aspek yang lain. Kamu boleh juga menyampaikan yang kau tidak bisa membedakan keduanya”. Keterangan dari kitab Fusus itu mententeramkan jiwa Ahmad Sirhindi. Bila berkesempatan, beliau melaporkan pengalaman beliau kepada Syekh Muhammad. Mursyid itu memberitahu bahwa Sirhindi mengalami suasana kehadiran Tuhan tetapi secara tidak jelas.
Dia dinasihatkan supaya meneruskan latihan supaya wujud boleh dibedakan dari khayali. Ahmad Sirhindi bertanya kepada mursyidnya mengenai keterangan Ibnu Arabi perihal pengalaman yang telah dialaminya. Syekh Muhammad menjelaskan bahwa Ibnu Arabi tidak menceritakan suasana yang tepat yang berbeda dengan konsep wahdah al-wujud, lantaran kebanyakan sufi tidak melewati peringkat menyaksikan tidak ada perbedaan di antara Tuhan dengan alam. Jika mereka melepasi peringkat tersebut mereka akan menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk.
Ahmad Sirhindi meneruskan latihannya. Dalam masa dua hari beliau dikurniakan pengalaman yang memperlihatkan perbedaan di antara Wujud yang sebenar dengan wujud khayali. Dia mendapati sifat, tindakan dan kesan yang muncul pada wujud bayangan (khayali) sebetulnya tiba dari Tuhan. Dia menyadari sepenuhnya bahwa sifat dan perbuatan tersebut sebetulnya bayangan atau imajinasi sepenuhnya dan tiada yang maujud melainkan Tuhan. Mursyidnya menandakan bahwa beliau sudah hingga kepada peringkat mengalami suasana perbedaan setelah penyatuan, ialah setelah menyaksikan Wujud Tuhan dan wujud hamba bersatu sebagai wahdah al-wujud, beliau meninggalkan peringkat tersebut dan menyaksikan Wujud Tuhan sebetulnya berbeda dari wujud hamba. Peringkat ini merupakan tahap terakhir pencapaian manusia. Setelah peringkat ini seseorang itu akan memahami dan menyadari tujuan beliau diberi bakat-bakat yang perlu. Inilah peringkat kesempurnaan.
Ahmad Sirhindi meringkas kronologi perjalanan spiritualnya. Katanya, ketika dibawa kepada peringkat kesadaran setelah mabuk, baqa setelah fana dan melihat kepada setiap zarah kewujudan dirinya, beliau tidak melihat sesuatu melainkan Allah SWT dan beliau temui ‘cermin’ untuk ‘menanggung’ Tuhan. Kemudian beliau dibawa meninggalkan peringkat tersebut. Dia masuk ke dalam suasana kebingungan. Bila beliau kembali kepada dirinya beliau dapati Tuhan dan segala yang maujud berada dalam dirinya. Kemudian beliau dibawa lagi ke dalam suasana kebingungan. Setelah itu kesadaran beliau dikembalikan semula dan beliau mendapati Tuhan bukan satu dengan alam, tetapi tidak juga berpisah. Pada peringkat permulaannya beliau menyaksikan Tuhan sebagai meliputi dan menyertai sesuatu, kemudian syuhud yang demikian hilang sama sekali. Walaupun begitu Tuhan terlihat olehnya dengan keadaan tersebut yang membuatnya mencicipi seolah-olah Dia. Seterusnya beliau melihat alam tidak ada di samping Tuhan, padahal dahulunya beliau melihat alam berada di samping Tuhan. Dia kembali lagi mengalami suasana kebingungan. Kemudian kesadaran beliau kembali lagi. Dia sekarang memperoleh pengetahuan yang sangat berbeda dengan pengetahuan beliau sebelumnya.
Dalam pengetahuan beliau yang terbaru ini beliau mendapati kekerabatan Tuhan dengan alam ialah berlainan dengan apa yang beliau pahami dahulu. Hubungan Tuhan dengan alam tidak bisa diuraikan dan tidak sanggup diketahui. Dia masuk pula ke dalam suasana kebingungan. Dia mencicipi kekerdilan diri. Ketika sadar kembali, beliau mendapatkan pengetahuan bahwa Tuhan tidak ada hubungannya dengan alam secara diketahui atau tidak diketahui. Dia mengaku telah diberi pengetahuan khusus perihal tidak wujud kekerabatan antara Tuhan dengan makhluk walaupun beliau menyaksikan kedua-duanya. Pada tahap ini beliau mengaku telah mendapatkan pengetahuan bahwa apa juga yang disaksikan, walaupun berunsur ghaib, ialah bukan Tuhan. Menurutnya, ia hanyalah bentuk simbolik perihal kekerabatan Tuhan dan ciptaan-Nya yang melampaui apa juga pengetahuan dan syuhud. Dia mengaku bahwa di tamat perjalanannya ia menemukan bahwa masih ada peringkat yang lebih tinggi dari peringkat menyaksikan wahdah al-wujud. Syuhud terhadap wahdah al-wujud merupakan satu pengalaman yang ditemui dalam perjalanan spiritual. Katanya, setelah meninggalkan peringkat tersebut, seseorang akan menjadi sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis secara bertahap. Di penghujung perjalanannya kesan syuhud wahdah al-wujud akan hilang sama sekali dan beliau menjadi sesuai sepenuhnya dengan al-Quran dan as-Sunah.
Beberapa orang sufi mungkin mengalami hal yang sama tetapi konsep yang timbul dari pengalaman tersebut mungkin berbeda. Ibnu Arabi mengalami suasana satu wujud berpegang kepada konsep wahdahul wujud. Ahmad Sirhindi Sirhindi juga mengalami suasana yang demikian tetapi beliau berpegang kepada konsep wahdahul syuhud. Ahmad Sirhindi mengaku telah meninggalkan peringkat menyaksikan wahdah al-wujud dan beliau kembali kepada jalan kenabian. Banyak juga sufi yang tidak terlepas dari kesan menyaksikan wahdah al-wujud, kemudian mereka bermukim pada makam yang berfahamkan wahdah al-wujud. Sufi tersebut ditarik kepada konsep demikian lantaran kefanaan dan mabuk. Orang yang dalam kesadaran tidak patut mengikuti konsep yang demikian. Perlulah diketahui bahwa apa yang dialami dalam alam spiritual tidak semestinya kebenaran yang sejati. Alam demikian lebih merupakan Alam Misal yang menceritakan sesuatu perihal Kebenaran Hakiki yang melampaui misal. Misal dalam alam spiritual boleh dialami secara syuhud atau zauk (rasa). Ketika melalui daerah-daerah Latifah Rabbaniah seseorang boleh menyaksikan cahaya-cahaya dan mengalami zauk Hakikat-hakikat Kenabian.
Cahaya yang disaksikan dalam tempat latifah boleh mempesonakan seseorang dan hakikat kenabian boleh membalikkan pandangan seseorang. Ada orang yang keliru dengan cahaya, menyangkakan Tuhan sebagai cahaya cuaca subuh. Ada orang yang keliru dengan hakikat kenabian, menyangkakan dirinya menyatu dengan nabi-nabi atau terus mendakwakan dirinya sebagai nabi Ada sebahagian dari mereka yang mencuba untuk mencungkil ‘Rahasia’. Mereka menyatukan diri mereka dengan Nabi Adam a.s dan Nabi Muhammad s.a.w. Bagi mereka tidak ada bedanya diri mereka dengan Adam dan Muhammad. Konsep mereka sudah jauh menyimpang dari kebenaran. Perjalanan jasad dengan perjalanan roh lebih kurang saja. Manusia dari aspek jasad tiba dari jasad yang satu ialah jasad Adam. Walaupun bersumberkan jasad yang satu tetapi sekalian jasad-jasad merdeka dari jasad yang satu itu dan juga setiap jasad tidak terikat dengan jasad yang lain. Setelah jasad Adam mengalami mati, jasad-jasad lain tidak ikut mati bersamanya. Jika jasad Saleh dipotong, jasad Yusuf tidak ikut terpotong. Setiap jasad bebas dengan perjalanannya, menanggung senang atau celakanya sendiri.
Begitu juga dengan perjalanan rohani atau roh. Jika roh Nabi Muhammad s.a.w bahagia, roh Abu Jahal tidak ikut bahagia. Jika roh dan jasad Nabi Ibrahim a.s dimasukkan ke dalam syurga, roh dan jasad Namrud tidak ikut memasuki syurga. Sekalipun sekalian roh-roh bersumberkan roh yang satu tetapi roh individu bebas dengan perjalanannya sebagaimana jasad bebas berbuat demikian. Konsep menyatukan jasad atau roh seseorang dengan jasad atau roh orang lain ialah konsep yang keliru. Orang yang mengalami jazbah mungkin terbalik pandangannya dan mengalami suasana penyatuan, tetapi penyatuan tersebut hanya berlaku dalam alam perasaannya, bukan itulah yang sebetulnya berlaku. Tanpa bimbingan guru yang bakir orang tersebut akan berterusan berada di dalam citra khayalannya atau di dalam alam bayangan.
Al-maktubat, Magnum Opus Sirhindi
Gagasan-gagasan gaib Sirhindi dikumpulkan dalam 534 surat. Kemudian surat-surat tersebut dikumpulkan dalam sebuah buku yang menjadi magnum opusnya, yang diberi judul al-maktubat. Menurut Freidman, secara umu, isi buku yang ditulis semula dengan bahas Persia itu sanggup dibagi tiga; kenabian, kewalian dan kekerabatan antara syariah dan thariqah dan teori wahdah al-wujud dan wahdah al-syuhud.Melalui surat-surat Ahmad Sirhindi berusaha untuk mengembalikan kemuliaan Mughal ke jalan yang benar yang menuntun kepada keselamatan. Para pengikutnya barangkali tidak menyadari tuntutan Sirhindi yang sangat tinggi pada dirinya sendiri dan ketiga penerusnya, alasannya ialah beliau merasa dirinya sebagai qayyum, seseorang yang melalui gerakan dirinya dunia berlangsung – suatu peringkat yang jauh lebih tinggi dibanding qutb dalam gaib Islam. Pengaruh Sirhindi setelah beliau meninggal meluas di banyak pecahan tengah dan timur duania Muslim, dan surat-surat dari imam rabbani,’Imam yang diilhami Tuhan,’ telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa Islam.
Orisinalitas gagasannya dalam tasawwuf bisa dilihat dalam doktrin-doktrinnya (terungkap melalui surat-surat) mengenai peringatan seribu tahun Islam. Seribu tahun bulan dalam hijriyah telah berlalu semenjak kenabian Muhammad SAW dan, kata Sirhindi, berarti akan terjadi suatu perubahan dramatis. Dia mengajarklan bahwa di atas ‘Realitas Muhammad’ (dalam bahasa Perisa, haqiqat e Muhammad-i), yang oleh para sufi sebelumnya dianggap sebagai realitas tertinggi di bawah Tuhan, ada ‘Realitas Quranik’. Di atas itu, ada ‘Realitas Ka’bah’. Seribu tahun setelah tamat hidup Muhammad SAW, Realitas Muhammad bangun menggantikan Realitas Ka’bah dan memperoleh nama gres sebagai ‘Realitas Ahmad’ (haqiqat-i Ahmadi). Kita harus memahami bahwa Ahmad merupakan nama lain baik bagi Muhammad maupun bagi Sirhindi sendiri. Sirhindi menyatakan bahwa beliau ialah seorang murid pribadi Tuhan. Menurutnya, dalam tahap terakhir perjalanan sufinya, sang mistikus itu turun dari pengalamannya dengan Tuhan menuju dunia untuk menjalankan fungsi yang mirip dengan fungsi para nabi. Meskipun seorang wali semacam itu tidak bisa mirip nabi secara umum, beliau bisa melampauinya dalam beberapa aspek (seperti halnya seorang mujahid bisa melampaui nabi).
Doktrin ini menempatkan Sirhindi sekubu dengan Ibn ‘Arabi, meskipun banyak pula yang membedakan keduanya. Sering kali dibayangkan pula bahwa Sirhindi berusaha untuk menggantikan sistem gaib Ibn Arabi dengan sistemnya sendiri. Jadinya, banyak diduga bahwa aliran wahdah al-wujud Ibn Arabi akan digantikan oleh aliran Wahdah al-syuhud Sirhindi.
Masalah ini semakin kompleks. Sirhindi mendapatkan beberapa iktikad Ibn Arabi namun menolak beberapa doktrinnya yang lain. Tampaknya sirhindi, mirip penulis modern, beranggapan salah bahwa Ibn Arabi dan para pengikutnya, ketika mereka menyatakan keyakinannya terhadap wahdah al-wujud, mengakui hanya ada satu entitas dalam dunia (pandangan monisme murni). Sebagaimana dikatakan Sirhindi, mereka hanya bisa melihat matahari sehingga mengingkari keberadaan bintang-bintang. Sirhindi menganggap mereka telah dibutakan oleh rasa mabuk sehingga bisa dimaafkan. Padahal, ada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu wahdah al-syuhud, yang berarti hanya melihat ketauhidan Tuhan tanpa bisa m,elihat yang lain, tapi mengetahui bahwa entitas-entitas lain itu ada (seperti halnya bisa melihat matahari, namun tetap mengetahui bahwa bintang-bintang itu ada). Tahapan tertinggi ialah jikalau kita bisa melihat baik matahari maupun bintang.
Sirhindi, meskipun di satu sisi mempunyai pandangan ambigu (mendua), sangat tegas terhadap pihak lain. Sebagaimana umumya ditemui dalam komunitas ulama, beliau mengutuk perempuan yang mengurbankan hewan di makam para sufi. Dia menyampaikan bahwa kaum Hindu harus dicela; dan membunuh seorang yahudi itu menguntungkan Islam. Dia menerima proteksi material bagi rumahnya sendiri dari para aristokrat kerajaan. Disebutkan bahwa ia sempat sudah menulis surat yang meminta posisi penting kerajaan bagi teman-temannya. Karena keberanian pendapat-pendapatnya yang sangat anti terhadap non muslim dan non sunni, beliau sempat mendekam dalam atas perintah kaisar Jahan-gir (1605-1627) dan kemudian dibebaskan.
Hanya ada sedikit bukti yang mendukung pendapat umum bahwa sang kaisar melaksanakan itu lantaran beliau berbalik mengakui pendapat Sirhindi. Pada masa hidupnya, beliau dikritik oleh para sufi konvensional, lantaran kesombongannya, dan oleh para ekstremis lantaran Sirhindi bersikukuh bahwa kenabian itu lebih unggul dibandingkan kewalian. Nanti, pada kurun ke –17, ajaran-ajarannya sering kali dihujat. Pada tahun 1679, fuqaha utama kerajaan itu melarang secara resmi penyebaran ajaran-ajaran tersebut. Namun, pengikutnya tetap bertahan. Pada kurun ke-20 ia dipandang sebagai pendekar utama dalam tasawwuf Islam sunni.
Ketika ingatan dan kesadarannya kembali semula pengalaman perihal keesaan Allah s.w.t itu tidak hilang, tidak mirip orang gila yang melupai segala pengalaman gilanya tatkala beliau sadar kembali. Pengalaman hati membawa sufi bermakrifat dengan keesaan Tuhan. Apa yang diketahui oleh orang lain secara ilmiah, dalil dan bukti, dialami sendiri oleh sufi. Pengalaman keesaan yang dialami oleh hati itulah yang dinamakan wahdahul syuhud. Sufi yang mengalami wahdahul syuhud, berdasarkan Sirhindi, berpecah kepada dua golongan. Golongan yang pertama memahamkan apa yang dialami itulah kebenaran yang sejati dan kebenaran yang paling tinggi. Hati telah mengalami wahdah al-wujud maka tentu sekali wahdah al-wujudlah yang benar. Berdasarkan syuhud atau pengalaman hati mengenai wahdah al-wujud itulah terbentuk konsep wahdahul wujud.
Yang wujud hanyalah Tuhan, penampakan Tuhan atau wajah-wajah Tuhan. Alam dan makhluk ialah bentuk zahir yang dengannya Tuhan menyatakan Wujud-Nya. Alam dan makhluk jikalau dipandang dari satu segi ialah Tuhan dan jikalau dipandang dari segi yang lain ialah makhluk. Begitulah konsep wahdahul wujud yang dibentuk sebagai terjemahan kepada pengalaman wahdahul syuhud. Sufi golongan kedua tidak menggubah terjemahan kepada apa yang mereka alami. Bagi golongan ini wahdah al-wujud ialah syuhud atau pengalaman hati, tidak ada alasannya ialah mahu menyampaikan wahdahul syuhud itu sebagai wahdahul wujud. Golongan ini memahamkan bahwa menyaksikan keesaan Tuhan bukan bermakna menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Memasuki suasana Keesaan Tuhan yang Tuhan buat tidak berarti a masuk kepada Tuhan. Tuhan tidak dikandung oleh masa, zaman atau ruang. Tidak ada satu perbatasan di mana bertempat Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada sesuatu apa pun yang boleh hingga kepada Zat Tuhan. Walaupun Keesaan Tuhan dikenali dan dialami ia tidak mengubah bangunan alam maya dan tidak mengubah ketuhanan Allah SWT Orang lelaki yang bermimpi menjadi perempuan tidaklah benar-benar bertukar menjadi perempuan. Tetapi pengalaman menjadi perempuan di dalam mimpi itu membuatnya mengenali perempuan dengan mendalam, tahu daya rasa dan citarasa perempuan dan sebagainya. Pengetahuan yang didapati secara hushuli meyakinkan pengetahuan yang diketahui secara pembelajaran dan dalil. Pengalaman menjadi perempuan dalam mimpi dikatakan pengalaman hakikat lelaki berkenaan mengalami hakikat keperempuanan melalui cara bermimpi. Lelaki tersebut mengenali perempuan secara sempurna.
Sufi yang mengalami hakikat ketuhanan ialah orang yang masuk ke dalam suasana hakikat dan makrifat, tidak masuk ke dalam Tuhan. Menurutnya, hakikat dan makrifat ialah suasana yang digubah Tuhan untuk memperkenalkan Diri-Nya kepada sesiapa yang Dia kehendaki berbuat demikian. Ketika seorang hamba yang menetap dalam makam kehambaan diperkenalkan akan sifat al-Aziz, maka hatinya berdebar, tubuhnya menggelinjang, parasnya menjadi pasi hingga ia nyaris terhuyung pingsan. Setelah sadar, beliau kenal maksud al-Aziz. Pengenalan sempiris itu lebih berkesan dan meyakinkan dari perkenalan secara ilmiah. makrifat melalui pengalaman hakikat itu melahirkan ungkapan seperti: “Aku kenal Tuhanku melalui Tuhanku; Aku melihat Tuhanku tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa warna, tanpa cahaya; Aku kenal Tuhanku tanpa sesuatu pengenalan”.
Banyak lagi ungkapan yang seumpamanya. Sufi yang mengalami wahdahul syuhud tetapi menolak konsep wahdahul wujud, berpegang pada konsep wahdahul ma’abud ialah kepercayaan kepada keesaan Tuhan tanpa menafikan kewujudan makhluk ciptaan Tuhan. Sufi golongan ini mengakui bahwa wujud makhluk memang tidak berhakikat tetapi oleh lantaran makhluk diciptakan Tuhan maka makhluk mempunyai kewujudan yang teguh, stabil, tetap, kekal mempunyai tindakbalas dan sebagainya, bukan mirip wujud khayali yang dibentuk oleh jago silap mata. Jadi, wahdahul syuhud yang membawa sebahagian sufi kepada wahdahul wujud itu juga yang memutuskan sufi pada wahdahul ma’abud.
Sufi yang tidak terbalik pandangan lantaran pengalaman wahdahul syuhud ialah yang ditetapkan pada makam kehambaan, sekalipun menempuh gelombang Alam Misal, alam bayangan, cahaya dan warna. Apa saja yang muncul dinafikannya dengan kalimah : “La ilaha illa Llah ” dengan membawa maksud : “Tiada Tuhan melainkan Allah.” Kalimah Tauhid yang memutuskan sebahagian sufi pada makam kehambaan itu boleh juga dipakai untuk mencabut kehambaan apabila maksud kalimah tersebut diubah kepada: “Tiada yang maujud melainkan Allah” (La maujud illa Llah ). Renungan yang mendalam dan disertakan dengan ucapan yang berulang-ulang bertindak sebagai memukau diri sendiri sehingga terpahat keyakinan dalam jiwa bahwa hanya Wujud Tuhan yang ada. Orang yang memperoleh konsep wahdahul wujud secara renungan demikian tidak mengalami wahdahul syuhud, tidak ada pengalaman hakikat, tidak mengalami hal-hal ketuhanan lantaran mereka belum lagi hingga kepada tahap kesadaran hati (kalbu).
Hal ketuhanan hanya dialami oleh orang yang hingga kepada tahap kesadaran hati. wahdahul wujud yang diperolehi secara tafakur itu menjadi pegangan orang yang berada pada tahap ilmu, tetapi ilmu bayang bukan ilmu yang sebenar. Dengan prinsip dualitas wujud (tsunaiyah al-wujud) atau wahdah al-syuhud, Sirhindi sebetulnya meyakini bahwa pemilik wujud tepat hanyalah Allah dan bahwa wujud selain Allah tidaklah sempurna. Sirhindi mencoba mengargumentasikan gagasannya dengan mengutip sebuah riwayat yang sangat terkenal “Tidak ada shalat tanpa fatihah”. Katanya, Nabi tentu tidak bermaksud melenyapkan shalat seseorang yang dilakukan tanpa fatiha, namun Nabi menganggap shalat tanpa al-fatihah itu tidaklah sempurna.
Hanya ada sedikit bukti yang mendukung pendapat umum bahwa sang kaisar melaksanakan itu lantaran beliau berbalik mengakui pendapat Sirhindi. Pada masa hidupnya, beliau dikritik oleh para sufi konvensional, lantaran kesombongannya, dan oleh para ekstremis lantaran Sirhindi bersikukuh bahwa kenabian itu lebih unggul dibandingkan kewalian. Nanti, pada kurun ke –17, ajaran-ajarannya sering kali dihujat. Pada tahun 1679, fuqaha utama kerajaan itu melarang secara resmi penyebaran ajaran-ajaran tersebut. Namun, pengikutnya tetap bertahan. Pada kurun ke-20 ia dipandang sebagai pendekar utama dalam tasawwuf Islam sunni.
Utopia “Mengganti Wahdah al-Wujud dengan Wahdah al-Syuhud” Ahmad Sirhindi memperkenalkan teori sufisme alternatif, yaitu Wahdahul –syuhud. Wahdahul syuhud atau tauhid syuhudi merupakan pengalaman spiritual yang paling tinggi mengenai keesaan. Boleh juga dikatakan ia ialah kemuncak fana, di mana kesadaran seseorang sufi terhadap dirinya dan sekalian makhluk hilang lenyap sama sekali, tidak ada sedikit pun yang tinggal. Pada tahap tersebut sufi masuk sepenuhnya ke dalam suasana “Tuhan Maha Esa”. Pada ketika itu kewujudan positif sufi tidak hilang. Dia masih lagi berjasad dan bergerak di atas muka bumi. Hanya ingatan dan kesadarannya terhadap yang selain Allah s.w.t terhapus sama sekali. Sufi tidak bertukar menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Sufi yang di dalam keadaan menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan itu tidak ada kuasa untuk membelah bulan atau membuat matahari naik dari sebelah barat mirip kekuasaan Tuhan. Apa yang berlaku kepada sufi hanyalah pengalaman rasa. Dia mengalami rasa “Akulah Tuhan. Aku Esa. Tiada sesuatu beserta Aku”. Peringkat pengalaman keesaan yang paling tinggi ini berlaku dalam sembahyang. Apa yang dirasakan pada ketika itu adalah: “Sembahyang ialah puji-pujian Allah terhadap Diri-Nya sendiri. Dia yang Memuji Diri-Nya. Dia yang Berkata-kata. Dia Yang Mendengar”. Pengalaman yang demikian merupakan ketika yang paling lazat dirasakan oleh seseorang sufi. Setiap patah ucapan dalam sembahyang itu sangat mengasyikkan, sangat indah dan sangat merdu.Ketika mengalami suasana keesaan Tuhan itu tidaklah berarti bahwa sufi sudah menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Ia ialah satu suasana yang Tuhan gubah demi memperkenalkan keesaan-Nya. Orang yang memasuki suasana tersebut akan kenal, faham dan mengerti maksud Tuhan Maha Esa. Pengalaman yang demikian terjadi tatkala sufi hilang ingatan dan kesadaran kepada segala kasus kecuali Allah s.w.t.
Ketika ingatan dan kesadarannya kembali semula pengalaman perihal keesaan Allah s.w.t itu tidak hilang, tidak mirip orang gila yang melupai segala pengalaman gilanya tatkala beliau sadar kembali. Pengalaman hati membawa sufi bermakrifat dengan keesaan Tuhan. Apa yang diketahui oleh orang lain secara ilmiah, dalil dan bukti, dialami sendiri oleh sufi. Pengalaman keesaan yang dialami oleh hati itulah yang dinamakan wahdahul syuhud. Sufi yang mengalami wahdahul syuhud, berdasarkan Sirhindi, berpecah kepada dua golongan. Golongan yang pertama memahamkan apa yang dialami itulah kebenaran yang sejati dan kebenaran yang paling tinggi. Hati telah mengalami wahdah al-wujud maka tentu sekali wahdah al-wujudlah yang benar. Berdasarkan syuhud atau pengalaman hati mengenai wahdah al-wujud itulah terbentuk konsep wahdahul wujud.
Yang wujud hanyalah Tuhan, penampakan Tuhan atau wajah-wajah Tuhan. Alam dan makhluk ialah bentuk zahir yang dengannya Tuhan menyatakan Wujud-Nya. Alam dan makhluk jikalau dipandang dari satu segi ialah Tuhan dan jikalau dipandang dari segi yang lain ialah makhluk. Begitulah konsep wahdahul wujud yang dibentuk sebagai terjemahan kepada pengalaman wahdahul syuhud. Sufi golongan kedua tidak menggubah terjemahan kepada apa yang mereka alami. Bagi golongan ini wahdah al-wujud ialah syuhud atau pengalaman hati, tidak ada alasannya ialah mahu menyampaikan wahdahul syuhud itu sebagai wahdahul wujud. Golongan ini memahamkan bahwa menyaksikan keesaan Tuhan bukan bermakna menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Memasuki suasana Keesaan Tuhan yang Tuhan buat tidak berarti a masuk kepada Tuhan. Tuhan tidak dikandung oleh masa, zaman atau ruang. Tidak ada satu perbatasan di mana bertempat Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada sesuatu apa pun yang boleh hingga kepada Zat Tuhan. Walaupun Keesaan Tuhan dikenali dan dialami ia tidak mengubah bangunan alam maya dan tidak mengubah ketuhanan Allah SWT Orang lelaki yang bermimpi menjadi perempuan tidaklah benar-benar bertukar menjadi perempuan. Tetapi pengalaman menjadi perempuan di dalam mimpi itu membuatnya mengenali perempuan dengan mendalam, tahu daya rasa dan citarasa perempuan dan sebagainya. Pengetahuan yang didapati secara hushuli meyakinkan pengetahuan yang diketahui secara pembelajaran dan dalil. Pengalaman menjadi perempuan dalam mimpi dikatakan pengalaman hakikat lelaki berkenaan mengalami hakikat keperempuanan melalui cara bermimpi. Lelaki tersebut mengenali perempuan secara sempurna.
Sufi yang mengalami hakikat ketuhanan ialah orang yang masuk ke dalam suasana hakikat dan makrifat, tidak masuk ke dalam Tuhan. Menurutnya, hakikat dan makrifat ialah suasana yang digubah Tuhan untuk memperkenalkan Diri-Nya kepada sesiapa yang Dia kehendaki berbuat demikian. Ketika seorang hamba yang menetap dalam makam kehambaan diperkenalkan akan sifat al-Aziz, maka hatinya berdebar, tubuhnya menggelinjang, parasnya menjadi pasi hingga ia nyaris terhuyung pingsan. Setelah sadar, beliau kenal maksud al-Aziz. Pengenalan sempiris itu lebih berkesan dan meyakinkan dari perkenalan secara ilmiah. makrifat melalui pengalaman hakikat itu melahirkan ungkapan seperti: “Aku kenal Tuhanku melalui Tuhanku; Aku melihat Tuhanku tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa warna, tanpa cahaya; Aku kenal Tuhanku tanpa sesuatu pengenalan”.
Banyak lagi ungkapan yang seumpamanya. Sufi yang mengalami wahdahul syuhud tetapi menolak konsep wahdahul wujud, berpegang pada konsep wahdahul ma’abud ialah kepercayaan kepada keesaan Tuhan tanpa menafikan kewujudan makhluk ciptaan Tuhan. Sufi golongan ini mengakui bahwa wujud makhluk memang tidak berhakikat tetapi oleh lantaran makhluk diciptakan Tuhan maka makhluk mempunyai kewujudan yang teguh, stabil, tetap, kekal mempunyai tindakbalas dan sebagainya, bukan mirip wujud khayali yang dibentuk oleh jago silap mata. Jadi, wahdahul syuhud yang membawa sebahagian sufi kepada wahdahul wujud itu juga yang memutuskan sufi pada wahdahul ma’abud.
Sufi yang tidak terbalik pandangan lantaran pengalaman wahdahul syuhud ialah yang ditetapkan pada makam kehambaan, sekalipun menempuh gelombang Alam Misal, alam bayangan, cahaya dan warna. Apa saja yang muncul dinafikannya dengan kalimah : “La ilaha illa Llah ” dengan membawa maksud : “Tiada Tuhan melainkan Allah.” Kalimah Tauhid yang memutuskan sebahagian sufi pada makam kehambaan itu boleh juga dipakai untuk mencabut kehambaan apabila maksud kalimah tersebut diubah kepada: “Tiada yang maujud melainkan Allah” (La maujud illa Llah ). Renungan yang mendalam dan disertakan dengan ucapan yang berulang-ulang bertindak sebagai memukau diri sendiri sehingga terpahat keyakinan dalam jiwa bahwa hanya Wujud Tuhan yang ada. Orang yang memperoleh konsep wahdahul wujud secara renungan demikian tidak mengalami wahdahul syuhud, tidak ada pengalaman hakikat, tidak mengalami hal-hal ketuhanan lantaran mereka belum lagi hingga kepada tahap kesadaran hati (kalbu).
Hal ketuhanan hanya dialami oleh orang yang hingga kepada tahap kesadaran hati. wahdahul wujud yang diperolehi secara tafakur itu menjadi pegangan orang yang berada pada tahap ilmu, tetapi ilmu bayang bukan ilmu yang sebenar. Dengan prinsip dualitas wujud (tsunaiyah al-wujud) atau wahdah al-syuhud, Sirhindi sebetulnya meyakini bahwa pemilik wujud tepat hanyalah Allah dan bahwa wujud selain Allah tidaklah sempurna. Sirhindi mencoba mengargumentasikan gagasannya dengan mengutip sebuah riwayat yang sangat terkenal “Tidak ada shalat tanpa fatihah”. Katanya, Nabi tentu tidak bermaksud melenyapkan shalat seseorang yang dilakukan tanpa fatiha, namun Nabi menganggap shalat tanpa al-fatihah itu tidaklah sempurna.
Utopia “Mengawinkan Syariah dan Haqiqah” Syari’ah ialah pecahan terpenting yang fundamental dalam aliran sufi, poin ini dibentuk dengan ketat oleh pemimpin tertinggi sufi Naqsabandi, Shaikh Ahmad Sir Hindi (yang juga dikenal sebagai Imam ar-Rabbani), di dalam surat-suratnya. Ini ialah keterangan sederhana dari salah satu suratnya dimana beliau menjelaskan topik ini:Menurutnya, Syari’ah mempunyai tiga bagian: pengetahuan, perbuatan, dan tujuan yang mulia (ikhlas), Jika tidak anda mengikuti semua bagian-bagian tersebut, maka kau belum sanggup dikatakan taat kepada syari’ah, dan ketika kau mematuhi syari’ah maka kau taat kepada kesenangan Tuhan, yang merupakan kebaikan yang terbesar didunia dan akhirat, al-Qur’an : “Kesenangan yang kuasa ialah kebaikan yang tertinggi”, maka Syari’ah merupakan satu kesatuan yang utuh dari semuah kebaikan di dunia dan akherat, dan tidak ada yang ditinggalkan dari segala hal yang ada di Syari’ah.
Thariqah dan Haqiqah, sebagaiman dikenal di kalangan sufi, ialah pecahan yang takterpisahkan dari syari’ah, yang biasa dipakai untuk mengetahui tiga bagiannya. Kenamaan,dan kemuliaan, jadi mereka dijaga dalam upaya untuk melaksanakan syari’ah bukan untuk meraih sesuatu didalam syari’ah, pengembaraan dan kesenangan dari pengalaman para sufi dan wawasan dan kebenaran yang tiba kepada mereka ketika mereka sedang dlm pengembaraannya ialah bukan tujuan dari sufisme, mereka kadang kala memberi kisah dan menyenangi anak anak mereka yang sedang diberi makan, diantaranya mereka harus meninggalkan mereka dan meraih tingkatan ketenangan (rida) yang merupakan tujuan tamat dari suluk.
Menurut Sirhindi, syari’ah ialah pecahan terpenting yang fundamental dalam Tasawwuf oleh alasannya ialah itu. Seandainya sesesorang disebut Shaikh namum belum mempraktekan Syari’ah, maka setiap seharusnya menolak mengikutinya, dan menentukan untuk mengikuti shaikh yang mengajarkan dan memperaktekan syari’ah. Tujuan dari penggabungan thariqah dan haqiqah tidak lain ialah realisasi dari nrimo yang memerlukan perjuangan dari rida.hanya satu dari ribuan sufi yang ditolong dengan tiga iluminasi dan gnostic visi, pekmberian ikhlas, dan naik kemartabat rida.
Kritik –kritik atas Sirhindi Pertama: Sebagian besar alasan yang dikemukakan Sirhindi untuk menentang Wahdah al-wujud didasarkan pada premis-premis teologis (kalm) dan yurisprodensial (fiqh), yang tidak lain hanyalah interpretasi-interpetasi subjektif sebuah kelompok atau seseorang.Mencampur-adukkan sufisme, filsafat, teologi dan fiqh nampaknya menjadi ciri secara umum dikuasai Sirhindi dalam kritik-kritiknya terhadap Wahdah al-wujud atau al-tauhid al-wujudi Itulah sebabnya, al-maktubat terkesan kacau dan tidak metodologis. Hal ini diperparah oleh pilihan kata Sirhindi yang terkadang cenderung agigatif dan emosional. Yang lebih memprihatinkan lagi, Sirhindi memperlihatkan ketidakmampuannya menyembunyikan tendensi-tendensi sektarian dan persionalnya dalam tulisan-tulisannya. Sebenarnya polemik perihal apakah wujud itu tunggal ataukah bermacam-macam telah menjadi salah satu tema terkuno dalam khazanah tasawwuf, filsafat dan teologi Islam. Mungkin Sirhindi yang hidup di anak benua India tidak pernah bersahabat dengan wacana ontologis yang rumit dan sulit itu, meski sering mengklaim telah menguasainya. Kalau saja Sirhindi tidak terlampau fanatik dan sinis terhadap Syiah dan bersahabat dengan pustaka dan karya-karya para ulama Syiah perihal wahdah al-wujud, mungkin ia tidak akan bersikap sangat sinis terhadap wahdah al-wujud.
Meski sama-sama meyakini adanya Tuhan yang Maha Sempurna, umat Islam tetap saja berbeda pendapat perihal apakah Tuhan saja yang ada sedangkan selainnya “mirip” ada” atau “berada dalam wahdah al-wujud Tuhan” ataukah Tuhan mempunyai ruang keberadaan sedangkan setiap makhluknya mempunyai ruang bagi eksistensinya masing-masing? Kaum pluralis dan dualis, termasuk kaum paripatetis dan sebagian besar kaum rasionalis Timur, berkeyakinan bahwa hakikat wujud (bukan maujud) beragam, meliputi Tuhan dan setiap makhlukNya. Dengan kata lain, berdasarkan mereka, Tuhan mempunyai hakikat wujud tersendiri yang berbeda secara total dengan hakikat wujud setiap makhlukNya.
Sirhindi semestinya memahami bahwa para penganut wahdah al-wujud itu tidak selalu sama dalam detail pendapat mereka. Para penganut monisme yang meyakini unitas hakikat terbagi tiga aliran yang berbeda pendapat perihal wahdah-al-wujud; Bahwa hakikat-hakikat wujud aini mempunyai kesekutuan dan kesatuan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, wujud hanyalah sebuah hakikat. Namun dalam kesatuan tersebut, terdapat keragaman. Teori ini mengacu pada pendapat Mulla sahdra perihal pembagian wujud kepada berdikari (mustaqil) dan bergantung (rabith). Pendapat ini dikenal dengan teori “al-wahdah fi ain al-katsrah”.
Bahwa hakikat wujud sejati dan “realitas” (wujud objektif, entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah. Sedangkan keberadaan entitas-entitas lain bersifat metaforis. Teori ini dikenal dengan “Wahdah al-wujud wa al-maujud”. Bahwa, “wujud sejati” hanya ada pada dzat Allah. Sedangkan “maujud sejati” meliputi makhluk-makhluk. Kaum monis bahwa realitas-realitas wujud mempunyai titik kesamaan dan kesatuan sekaligus perbedaan. Dengan kata lain, realitas-realitas wujud yang berlainan itu satu. Namun perbedaan tersebut tidak meniscayakan ketersusunan sehingga tidak sanggup diuraikan menjadi genus dan defrentia. Perbedaan tersebut hanyalah dalam intensitas dan gradasinya, sebagaimana lilin dan lampu 500 watt yang satu atau sama-sama lampu namun kualitas pencahayaannya berbeda.
Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu gradual dan bertingkat-tingkat. Hakikat “wujud’ itu sederhana atau tunggal namun bertingkat-tingkat atau gradual, masing-masing tingkat berbeda intensitasnya. Adalah jelas, keberadaan tumbuh-tumbuhan lebih tepat dan lebih tinggi dari keberadaan benda-benda padat, lantaran ia memliki sifat berkembang, konsumtif dan produktif. Ke-ada-an hewan juga lebih tepat dari ke-ada-an tumbuh-tumbuhan, lantaran ia, selain mempunyai sifat-sifat yang ada pada tumbuh-tumbuhan, mempunyai sejumlah sifat kesempurnaan lainnya, mirip berperasaan, bergerak dan berkehendak. Benda padat, tumbuh-tumbuhan dan hewan sama-sama mempunyai eksistensi, namun masing-masing berada pada tingkat-tingkat kesempurnaan yang berbeda. Cahaya juga demikian. Ia bersifat gradual, ada yang berpengaruh sekali, ada yang lebih lemah dan begitu seterusnya, meski semuanya ialah cahaya. Banyak orang yang mengkaitkan pendapat ini keyakinan kaum fahlavi, para filsuf Iran kuno.
Tingkat tertinggi dari wujud bersifat tak berhingga, sedangkan tingkat yang paling rendah bersifat terbatas, lemah, dan tidak mandiri. Kedua: Agama para rasul, tulis Sirhindi, tegak atas dasar premis kegandaan (al-itsnainiyah), dan bukan pada keidentikan antara Tuhan dan dunia. Ia memisahkan antara makhluk dan Maha Pencipta, hamba dan Tuhannya, dan tidak pernah memberikan bahwa pencipta ialah ciptaan, atau bahwa Tuhan ialah hamba. Para rasul tidak pernah mengabaikan pengetahuan, kehendak, kekuasaan, tindakan, dan pengalaman insan atau makhluk-makhluk lain, dan kemudian menjadikannya hanya sebagai predikat Tuhan saja. Mereka tidak pernah menyatakan, bahwa hanya ada satu pelaku atau satu zat, atau satu subjek saja.
Sirhindi semestinya bisa membedakan antara tema-tema ontologis dan tema-tema religius (teologis). Tema-tema ontologis ialah konsep-konsep yang dibangun berdasarkan keyakinan akan alam keberadaan. Sedangkan tema-tema perihal para rasul dan syariah dibangun berdasarkan prinsip-prinsip nubuwah, yang merupakan turunan dari prinsip-prinsip teologis. Seseorang bisa saja meyakini adanya wujud mutlak yang merupakan pencipta tunggal, namun ia tidak mesti meyakini kenabian atau agama. Sirhindi semestinya mengkritik wahdah al-wujud dengan berusaha menggugurkan premis-premis ontologisnya, tidak malah memprovokasi pembaca dan pengikutnya dengan mengandalkan tema-tema teologis dan fiqhiyah yang sangat sektarian dan tidak aksiomatis. Dari kritiknya di atas, tampak pula bahwa bahwa Sirhindi tidak bisa membedakan antara terma “satu”, “esa”, “sederhana”, penampakan” dan terminologi lainnya yang merupakan elemen integral dalam khazanah sufisme dan filsafat. Ketiga: Selain bertentangan aliran para Rasul, berdasarkan Sirhindi, iktikad wahdah al-wujud jkuga bertentangan dengan banyak sekali prinsip dasar aliran Islam.
Menurutnya. iktikad tersebut membenarkan adanya penyembahan berhala lantaran filsafat tersebut mengidentikkan dunia dengan Tuhan, maka penyembahan atas banyak sekali objek akan disamakan dengan penyembahan Tuhan, lantaran yang disembah ialah perwujudan Tuhan. Inilah apa yang sebetulnya diyakini oleh para penyembah berhala, katanya. Karena menyadari bahwa konsep monisme Ibn Arabi, yang menjadi dasar utama tasawwuf pasca Al-bustami dan Al-hallaj, tidak sejalan dengan teologi Asy’ariyah, yang dianut oleh sebagian besar masyarakat sunni, Sirhindi melacarkan kampanye anti wahdah al-wujud sembari menuduhnya sebagai efek dari aliran Syiah dan Zoroastrianisme. Sirhindi semestinya mengetahui bahwa apabila ada selain selain Allah yang mempunyai wujud sama dengan Allah, maka berarti “ada sesuatu yang mirip Allah dalam wujud”.
Kalau para rasul mengajarkan kepada umat mereka , bahwa “tiada Tuhan selain Allah” maka itu tidak berarti “tiada yang berwujud selain Allah” pastilah salah. Hal itu lantaran ilah hanyalah satu satu dimensi kesempurnaan maksimum zat-Nya. Tuhan bukan hanyazat yang esa sebagai ilah (sembahan), namun Ia juga esa dalam segala arti kesempurnaan. Dengan kata lain, kita semestinya menganggap Allah sebagai pemilik satu-satunyaal-wujud, al-uluhiyah, al-khaliqiyah, al-ma’budiyyah, al-rububiyah dan semua sifat dan nama terbaik (al-asma al-husna). “Dialah pemilik nama-nama terbaik”, sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an. Apakah lantaran Ia ialah pemilik nama-nama terbaik, maka berarti kita sebagai makhluknya tidak diperbolehkan menjadi pemilik majazi-nya? Inilah yang perlu direnungkan oleh Sirhindi dan para penentang wahdah al-wujud. Wahdah al-wujud sanggup dianggap sebagai pemuncak atau saripati dari tauhid.
Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu gradual dan bertingkat-tingkat. Hakikat “wujud’ itu sederhana atau tunggal namun bertingkat-tingkat atau gradual, masing-masing tingkat berbeda intensitasnya. Adalah jelas, keberadaan tumbuh-tumbuhan lebih tepat dan lebih tinggi dari keberadaan benda-benda padat, lantaran ia memliki sifat berkembang, konsumtif dan produktif. Ke-ada-an hewan juga lebih tepat dari ke-ada-an tumbuh-tumbuhan, lantaran ia, selain mempunyai sifat-sifat yang ada pada tumbuh-tumbuhan, mempunyai sejumlah sifat kesempurnaan lainnya, mirip berperasaan, bergerak dan berkehendak. Benda padat, tumbuh-tumbuhan dan hewan sama-sama mempunyai eksistensi, namun masing-masing berada pada tingkat-tingkat kesempurnaan yang berbeda. Cahaya juga demikian. Ia bersifat gradual, ada yang berpengaruh sekali, ada yang lebih lemah dan begitu seterusnya, meski semuanya ialah cahaya. Banyak orang yang mengkaitkan pendapat ini keyakinan kaum fahlavi, para filsuf Iran kuno.
Tingkat tertinggi dari wujud bersifat tak berhingga, sedangkan tingkat yang paling rendah bersifat terbatas, lemah, dan tidak mandiri. Kedua: Agama para rasul, tulis Sirhindi, tegak atas dasar premis kegandaan (al-itsnainiyah), dan bukan pada keidentikan antara Tuhan dan dunia. Ia memisahkan antara makhluk dan Maha Pencipta, hamba dan Tuhannya, dan tidak pernah memberikan bahwa pencipta ialah ciptaan, atau bahwa Tuhan ialah hamba. Para rasul tidak pernah mengabaikan pengetahuan, kehendak, kekuasaan, tindakan, dan pengalaman insan atau makhluk-makhluk lain, dan kemudian menjadikannya hanya sebagai predikat Tuhan saja. Mereka tidak pernah menyatakan, bahwa hanya ada satu pelaku atau satu zat, atau satu subjek saja.
Sirhindi semestinya bisa membedakan antara tema-tema ontologis dan tema-tema religius (teologis). Tema-tema ontologis ialah konsep-konsep yang dibangun berdasarkan keyakinan akan alam keberadaan. Sedangkan tema-tema perihal para rasul dan syariah dibangun berdasarkan prinsip-prinsip nubuwah, yang merupakan turunan dari prinsip-prinsip teologis. Seseorang bisa saja meyakini adanya wujud mutlak yang merupakan pencipta tunggal, namun ia tidak mesti meyakini kenabian atau agama. Sirhindi semestinya mengkritik wahdah al-wujud dengan berusaha menggugurkan premis-premis ontologisnya, tidak malah memprovokasi pembaca dan pengikutnya dengan mengandalkan tema-tema teologis dan fiqhiyah yang sangat sektarian dan tidak aksiomatis. Dari kritiknya di atas, tampak pula bahwa bahwa Sirhindi tidak bisa membedakan antara terma “satu”, “esa”, “sederhana”, penampakan” dan terminologi lainnya yang merupakan elemen integral dalam khazanah sufisme dan filsafat. Ketiga: Selain bertentangan aliran para Rasul, berdasarkan Sirhindi, iktikad wahdah al-wujud jkuga bertentangan dengan banyak sekali prinsip dasar aliran Islam.
Menurutnya. iktikad tersebut membenarkan adanya penyembahan berhala lantaran filsafat tersebut mengidentikkan dunia dengan Tuhan, maka penyembahan atas banyak sekali objek akan disamakan dengan penyembahan Tuhan, lantaran yang disembah ialah perwujudan Tuhan. Inilah apa yang sebetulnya diyakini oleh para penyembah berhala, katanya. Karena menyadari bahwa konsep monisme Ibn Arabi, yang menjadi dasar utama tasawwuf pasca Al-bustami dan Al-hallaj, tidak sejalan dengan teologi Asy’ariyah, yang dianut oleh sebagian besar masyarakat sunni, Sirhindi melacarkan kampanye anti wahdah al-wujud sembari menuduhnya sebagai efek dari aliran Syiah dan Zoroastrianisme. Sirhindi semestinya mengetahui bahwa apabila ada selain selain Allah yang mempunyai wujud sama dengan Allah, maka berarti “ada sesuatu yang mirip Allah dalam wujud”.
Kalau para rasul mengajarkan kepada umat mereka , bahwa “tiada Tuhan selain Allah” maka itu tidak berarti “tiada yang berwujud selain Allah” pastilah salah. Hal itu lantaran ilah hanyalah satu satu dimensi kesempurnaan maksimum zat-Nya. Tuhan bukan hanyazat yang esa sebagai ilah (sembahan), namun Ia juga esa dalam segala arti kesempurnaan. Dengan kata lain, kita semestinya menganggap Allah sebagai pemilik satu-satunyaal-wujud, al-uluhiyah, al-khaliqiyah, al-ma’budiyyah, al-rububiyah dan semua sifat dan nama terbaik (al-asma al-husna). “Dialah pemilik nama-nama terbaik”, sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an. Apakah lantaran Ia ialah pemilik nama-nama terbaik, maka berarti kita sebagai makhluknya tidak diperbolehkan menjadi pemilik majazi-nya? Inilah yang perlu direnungkan oleh Sirhindi dan para penentang wahdah al-wujud. Wahdah al-wujud sanggup dianggap sebagai pemuncak atau saripati dari tauhid.
Keempat: Doktrin wahdah al-wujud, berdasarkan Sirhindi, mengabaikan adanya keburukan. Sebagai manifestasi Tuhan, yang merupakan kebaikan diktatorial tentu segala sesuatu mengada dalam keadaan baik; ia hanya jelek dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain di luar dirinya sendiri.Bahkan kekafiran dan kemuratadan bukanlah suatu keburukan; dalam kenyataannya ia merupakan kebaikan dalam dirinya sendiri, dan jelek atau kurang baik hanya ada apabila dibandingkan dengan iman dan islam. Menurutnya, ini terang bertentangan dengan misi dasar para rasul yang bertujuan menjauhkan insan dari penyembahan berhala dan kemurtadan. Meski kebaikan dan keburukan masing-masing mempunyai satu arti yang baku, namun standar untuk menentukan sesuatu sebagai baik dan sesuatu lain sebagai jelek bisa saja berbeda mengikuti konteks yang berbeda-beda. 1- Ada kalanya kebaikan dan keburukan difahami sebagai kesesuaian dan ketidak sesuaian dengan selera (cita rasa). Panorma yang indah, lantaran sesuai dengan cita rasa, ialah baik. Sedangkan pemandangan yang menyeramkan, lantaran bertentangan dengan selera, dianggap sebagai buruk; 2- Ada kalanya ebaikan dan keburukan diinterpretasikan sebagai keselarasan dan ketidakselarasan dengan kepentingan. Tujuan dan kepentingan bisa bersifat individual bisa pula bersifat komunal.
Membunuh musuh, misalnya, dianggap sebagai baik lantaran selaras dengan tujuan, namun jelek bagi sahabat dan keluarga orang yang terbunuh, lantaran bertentangan dengan tujuan dan kepentingan personal mereka. Keadilan lantaran memelihara ketertiban masyarakat dan kepentingan umum, ialah baik. Sedangkan kezaliman, lantaran meruntuhkan keteraturan dan bertentangan dengan kepentingan umum, ialah buruk; 3-Ada kalanya kebaikan dan keburukan sebagai kesempurnaan dan kekurangan jiwa. Pengetahuan, misalnya, ialah pesona atau hiasan, sedangkan kebodohan ialah noda atau aib; 4- Ada kalanya kebaikan dan keburukan sebagai keterpujian dan ketercelaan sesuatu secara rasional. Sering kali nalar sehat kita memastikan suatu perbuatan sebagai baik, lantaran sesuai dengan kesempurnaan eksistensial bagi manusia, selaku entitas berakal dab berkehendak, dan memastikan suatu perbuatan sebagai jelek lantaran meniscayakan kekurangan eksistensial bagi manusia, tanpa mengikutsertakan faktor manfaat personal atau sosial, mirip membalas kebaikan dengan kebaikan sebagai sesuatu yang diharuskan oleh nalar sehat, dan membalas kebaikan dengan keburukan sebagai sesuatu yang dihentikan oleh nalar sehat.
Harus diakui bahwa penelitian kita perihal maslah-masalah keberadaan belum final sehingga belum mencapai kedalaman fenomena-fenomena eksistensial. Persitiwa-peristiwa mengenaskan yang pada mulanya sebelum diketahui dimensi-dimensinya, mengesankan tidak adanya keadilan. Di bawah efek dan tekanan emosional itulah, kita sering memperlihatkan analisis yang irasional. Namun, bila kita teliti secara seksama dan rasional, maka kita akan segera sadar bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menjadi jelek di mata kita lantaran pertimbangan individual dan subjektif. Dalam alam yang tidak ada gempa dan bencana, perubahan dan evolusi tidaklah terjadi. Dalam alam yang tidak berubah dan berevolusi, tidak ada gerak. Dalam alam yang tidak bergerak, aturan dan norma moral dan sosial tidak berarti. Perbedaan dan evolusi ialah pecahan pasti dari alam yang dinamis. Tanpa itu, alam tidak akan ada, matahari, bulan dan semuanya tidak akan ada.
Dalam alam yang tidak mengandung sakit, perjuangan dan sengsara, perasaan bangga dari kesehatan, kebahagiaan dan kesuksesan ialah absurd, harapan untuk lebih tepat ialah sia-sia, dan kekerabatan antar sesama akan tak bermakna. Keburukan ialah ketiadaan mutlak. Karenanya, semua yang ada di alam ini pastilah sesuatu yang baik, lantaran kebaikan ialah kata lain dari keberadaan. Sesuatu menjadi buruk, lantaran ia merupakan patner asumtif dari lawannya, yaitu baik, sebagaimana gelap yang kita annggap ada lantaran menjadi entitas refleksif dari kebenderangan. Bencana dan keburukan-keburukan ialah salah satu tema usang dalam sejarah peradaban insan dan berkaitan erat dengan keyakinan keagamaan. Seandainya Tuhan ialah kebaikan semata dan tidak ada keburukan setitik pun dalam DzatNya sama sekali, maka bagaimana mungkin keburukan-keburukan dinisbahkan kepadaNya! Tak pelak, kehidupan insan ialah kehidupan sosial. Di dalamnya ada kepentingan-kepentingan personal dan komunal. Akal sehat mengutamakan kepentingan komunal atas kepentingan personal.
Karenanya, sebagian fenomena alam muncul berupa bencana dan keburukan bagi sebagian orang, namun pada ketika yang sama bencana dan keburukan diderita oleh sebagian anggota masyarakat tersebut memuat kepentingan umum dan masyarakat. Bila fenomena dan tanda-tanda alam tersebut dianggap sebagai keburukan oleh segelintir orang, maka itu ialah evaluasi personal lantaran bertentangan dengan kepentingan sejumlah orang, namun ia sesuai dengan kepentingan umum yang lebih besar pada tempat dan waktu yang berbeda. Perbuatan merobohkan sebuah bangunan di tengah kota yang mengakibatkan debu besar, misalnya, akan dinilai oleh sementara orang yang kebetulan lewat di dekatnya sebagai perbuatan yang merugikan mereka, lantaran debunya mengganggu kesehatan dan penglihatan. Namun perbuatan itu justru menguntungkan bagi orang-orang yang kelak sakit dan akan dirawat di atas tanah bekas bangunan yang diruntuhkan tersebut akan dibangun sebuah rumah sakit.
Karena pengetahuan yang serba terbatas, insan menghukumi dan menilai peristiwa-peristiwa dengan evaluasi yang negatif. Padahal bila insan membandingkankan pengetahuannya yang dangkal dengan pengetahuan Tuhan, maka ia akan meralatnya kembali, sebagaimana dinyatakan dalam surah Al—Imran ayat 191 dan surah Al-Isra’ ayat 85. Kehidupan insan tidak hanya berdimensi material namun juga berdimensi spiritual. Tentu, kebahagiaan dan keberuntungan di dalam kehidupan ini merupakan tujuan utama di balik penciptaaan manusia. Kunci keberhasilan untuk mencapai kebahagiaan tersebut ialah menyembah Allah dan tunduk kepada-Nya. Karenya, peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan gangguan dalam beberapa aspek kehidupan material boleh jadi merupakan penyebab utama kembalinya insan kepada Tuhan, sebagaimana ditegaskan dalam surah An-Nisa’.
Sejumlah musibah ialah akhir ulah berdosa dan perbuatan maksiat. Manusia bertanggungjawab terhadap banyak insiden menyedihkan dan peristiwa memilukan dalam alam, sebagaimana ditegaskan dalam surah Ar-Rum ayat 41 dan Al-A’raf ayat 96. Kelima: Ibn Al-arabi dan para pengikutnya menyitir ayat al-Qur’an; “Sesungguhnya engkau tidak melemparkan (sejumput debu) ketika engakau melempar, ialah Tuhan yang melemparkannya,” dan ayat-ayat lain yang serupa, yang menopang iktikad perihal pemain drama tunggal. Doktrin Wahdah al-wujud, berdasarkan Sirhindi, meyakini bahwa Tuhan ialah pemain drama tunggal. Karena tidak ada dua zat, maka tentu tidak ada dua kehendak. Oleh alasannya ialah itu, simpul Sirhindi, apapun yang dipilih atau dilaksanakan oleh seseorang, maka dalam kenyataannya ialah dipilih dan dilaksanakan oleh Tuhan. Kepercayaan pada pemain drama tunggal (tauhid fi’li) berdasarkan Sirhindi ialah produk dalam kedaan mabuk. Ia menggambarkan pandangan determinisme (al-jabariyah).
Sirhindi semestinya memahami konsep kausalitas secara lebih mendalam, supaya tidak tergesa-gesa menjatuhkan palu vonis terhadap sesama penyembah Allah. Hubungan antara alasannya ialah dan kesudahannya ialah kekerabatan eksistensial real (objektif). Bila kekerabatan tersebut terjalin, maka ke-ada-an akhir menjadi pasti, ke-ada-an alasannya ialah memastikan ke-ada-an akibatnya, dan ketiadaan alasannya ialah juga memastikan ketiadaan akibatnya. Maujud sanggup juga dibagi dua: 1- Entitas yang mempunyai efek terhadap keberadaan selain dirinya, yang lazim disebut kausa atau Al-illah; 2-Entitas yang memerlukan selain dirinya untuk menjadi ‘berada’ yang disebut Al-ma’lul.[]
Daftar Pustaka
Fazlur Rahman, Islam, terj, Ahsin Muhammad , (Bandung: Pustaka, 1997), cet III, hal. 215
Muhammad Abdul-Haq Ansari, Merajut Syariah dan Haqiqah, hal. 2-3
Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press, 1983. P: 142: Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Hal. 191).
Op.cit. Abd. Haq Ansari, hal. 31
ibid, hal. 31
Ahmad Sirhindi, Al-maktubat, Fazilet Nasyriyet ve Ticaret A.S, Istanbul, hal 6
Yohanan Friedman, “Ahmad Sirhindi” dalam Mircea Eliade (ed), The Enclopedia of Religion, (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), vol. 13, P. 337
Op.cit. Al-maktubat, hal. 4
Francis Robinson, “Ahmad Sirhindi”, John L. Esposito (ed) , The Oxford Enclopedia of Modern Islamic World, (Oxford University Press, 1995), vol. 4, p. 78.
Islam Mistik, Julian Baldick, hal 160-162, Serambi, 2002 cet 1
ibid
Al-maktubat, hal. 280, cetakan Istanbul.
Muhammad Abdul Haq Ansari,pp 221-2, Naskah asli dari sir Hindi vol I:36
Al-manhaj Al-jadid, 399-405
Amolui, , Shahrul-Mandhumah, juz 2, hal. 105, Daftar e Tablighat Qom 1987, Shadruddin Syirazi, al-Asfar al-arba’ah juz, 1, hal. 432,, Daftar e Tablighat, Qom 1989, Al-Falsafah Al-Ulya, 90 Al-manhaj al-jadid, 403-405.
Sirhind, al-Maktubat, vol. I: 272, hal. 650-651.
Ibid vol. 234, hal. 494; vol. II; 1, hal.. 854.
Ibid, vol. I, 272, hal. 651,652.
Ja’far Subhani, Muhadharat fil-Ilahiyat, hal. 89, Daftar e Tablighat Alk-Islami, Qom, 1999
Jalal Al-din Ashtiyani, The existence from View Point of Philosophy and Mysticism, The center of Publication of the office Islamic Propagation of The Islamic Seminary of Qum, 2000, P. 168-175.
Al-Qur’an, 8:17
Ibi, vol. I: 30, hal. 101; I: 289, hal. 734, 738.
M. Reza Sadr, Al-falsafah Al-ulya, 113, Daftar e Tablighat, Qom, 2000; M.H. Thabathabai, Nihayah Al-hikmah, 201, Jamiah al-mudarrisin, Qom 2000.
Ibid, Nihayah Al-hikmah, 202,; ibid Al-falsafah Al-ulya, 113, ibid, Al-asfar Al-arba’ah.